
Tumbilotohe dalam
bahasa Gorontalo terdiri dua suku kata, yaitu tumbilo berarti pasang,
dan toheberarti lampu. Jadi, Tumbilotohe berarti acara pasang
lampu. Menurut sejarah, Tumbilotohe merupakan
tradisi masyarakat Gorontalo masa lampau yang sudah berlangsung sejak
abad
ke-15 M. Tradisi ini dilaksanakan pada 3 malam terakhir menjelang hari
Raya Idul Fitri, yaitu pada tanggal 27 hingga 30 Ramadhan, mulai magrib
hingga pagi hari.
Di masa lampau, pelaksanaan Tumbilotohe dimaksudkan untuk
memudahkan umat Islam dalam memberikan zakat fitrah pada malam hari. Pada
masa itu, lampu penerangan masih terbuat dari damar dan getah pohon yang mampu
menyala dalam waktu lama. Oleh karena semakin berkurangnya damar, maka bahan
lampu penerangan diganti dengan minyak kelapa (padalama) dan kemudian diganti dengan minyak tanah.
Seiring dengan perkembangan zaman,
banyak warga Gorontalo mengganti lampu penerangannya dengan lampu kelap-kelip
dalam berbagai warna. Namun, sebagian warga masih tetap menggunakan lampu
minyak tanah sebagai penerangan. Lampu-lampu minyak tersebut digantung pada
sebuah kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning. Di atas kerangka
itu juga digantung buah pisang sebagai lambang kesejahteraan, dan tebu
sebagai lambang kemanisan, keramahan, serta kemuliaan menyambut hari raya
Idul Fitri. Tradisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga
pendatang, terutama warga kota tetangga, seperti Manado, Palu, dan
Makassar. Mereka sengaja berkunjung ke Gorontalo untuk menyaksikan
tradisi Tumbilotohe.
Keistimewaan
Pada saat
ritual Tumbilotohe dilaksanakan,
Kota Gorontalo berubah menjadi semarak, karena lampu-lampu penerangan
dari berbagai jenis dan bentuk tidak hanya menerangi halaman rumah warga,
tetapi juga menerangi halaman kantor, masjid, dan lapangan sepak bola.
Bahkan, petakan sawah dan lahan-lahan kosong yang luas pun dipenuhi
dengan lampu botol dalam berbagai bentuk, seperti gambar masjid, kitab
suci Alquran, dan tulisan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona.
Selain itu, hampir semua alikusu atau
kerangka pintu gerbang, baik rumah, masjid, kantor, maupun perbatasan
suatu daerah, juga dihiasi dengan janur, pohon pisang, tebu, dan
lampu-lampu minyak.
Ritual yang
diselenggarakan selama tiga malam tersebut menjadi semakin ramai dan
semarak dengan adanya atraksi bunggo (meriam
bambu) yang dimainkan oleh anak-anak muda Kota Gorontalo. Para pemain bunggo tersebut saling balas dan
saling adu kerasnya bunyi. Menjelang sahur, mereka mengarahkan bunggo tersebut ke
kampung-kampung untuk membangunkan warga yang masih terlelap tidur agar bangun
untuk makan sahur. Dengan suasana demikian, para pengunjung dapat merasakan
nuansa religiusitas dan solidaritas bersama masyarakat setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar