Sabtu, 02 September 2017

Tumbilotohe




Tumbilotohe dalam bahasa Gorontalo terdiri dua  suku kata, yaitu tumbilo berarti pasang, dan toheberarti  lampu. Jadi, Tumbilotohe berarti acara pasang lampu. Menurut sejarah, Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat Gorontalo masa lampau yang sudah berlangsung sejak abad ke-15 M. Tradisi ini dilaksanakan pada 3 malam terakhir menjelang hari  Raya Idul Fitri, yaitu pada tanggal 27 hingga 30 Ramadhan, mulai magrib hingga  pagi hari.
Di masa lampau, pelaksanaan Tumbilotohe dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam dalam memberikan zakat fitrah pada  malam hari. Pada masa itu, lampu penerangan masih terbuat dari damar dan getah  pohon yang mampu menyala dalam waktu lama. Oleh karena semakin berkurangnya damar, maka bahan lampu penerangan diganti dengan minyak kelapa (padalama) dan kemudian diganti dengan minyak tanah.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak warga Gorontalo mengganti lampu penerangannya dengan lampu kelap-kelip dalam berbagai warna. Namun, sebagian warga masih tetap menggunakan lampu minyak tanah sebagai penerangan. Lampu-lampu minyak tersebut digantung pada sebuah  kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning. Di atas kerangka itu juga digantung  buah pisang sebagai lambang kesejahteraan, dan tebu sebagai lambang kemanisan,  keramahan, serta kemuliaan menyambut hari raya Idul Fitri. Tradisi ini menjadi  daya tarik tersendiri bagi warga pendatang, terutama warga kota  tetangga, seperti Manado, Palu, dan Makassar. Mereka sengaja berkunjung ke Gorontalo untuk  menyaksikan tradisi Tumbilotohe.
 
Keistimewaan
Pada saat ritual Tumbilotohe dilaksanakan, Kota Gorontalo berubah menjadi semarak, karena lampu-lampu  penerangan dari berbagai jenis dan bentuk tidak hanya menerangi halaman rumah warga, tetapi juga menerangi halaman kantor, masjid, dan lapangan sepak bola.  Bahkan, petakan sawah dan lahan-lahan kosong yang luas pun dipenuhi dengan  lampu botol dalam berbagai bentuk, seperti gambar masjid, kitab suci Alquran,  dan tulisan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Selain itu, hampir semua alikusu atau kerangka pintu gerbang, baik rumah, masjid, kantor, maupun perbatasan  suatu daerah, juga dihiasi dengan janur, pohon pisang, tebu, dan lampu-lampu  minyak.

Ritual yang diselenggarakan selama  tiga malam tersebut menjadi semakin ramai dan semarak dengan adanya atraksi bunggo (meriam bambu) yang dimainkan oleh anak-anak muda Kota Gorontalo. Para pemain bunggo tersebut saling balas dan saling adu kerasnya bunyi. Menjelang sahur, mereka mengarahkan bunggo tersebut ke kampung-kampung untuk membangunkan warga yang masih terlelap tidur agar bangun untuk makan sahur. Dengan suasana demikian, para pengunjung dapat merasakan nuansa religiusitas dan solidaritas bersama masyarakat setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar